HUKUM ACARA PIDANA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Maka dari itu, Indonesia membutuhkan yang namanya sebuah hukum yang hidup atau yang berjalan, dengan hukum itu diharapkan akan terbentuk suasana yang tentram dan teratur bagi kehidupan masyarakan Indonesia. Tak lepas dari itu, hukum tersebut juga butuh ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap warga Negara.
Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana.
Didalam KUHAP disamping mengatur ketentuan tentang cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang yang terlibat proses pidana. Proses pidana yang dimaksud adalah tahap pemeriksaan tersangka (interogasi) pada tingkat penyidikan.
Latar belakang yang melandasi munculnya KUHAP yaitu :
- HIR yang hanya mengatur tentang landraad dan raad van justitie
- UUD
- Pengakuan HAM
- Jaminan bantuan hukum dan ganti rugi

B. Rumusan Masalah

Dalam perumusan makalah ini, penulis merumuskan beberapa kriteria yang akan dibahas dalam makalah ini. Kiranya dengan rumusan masalah ini, telah sedikit mewakili dari seluruh isi makalah ini. Diantaranya yaitu :
1. Apa sebenarnya tujuan dari adanya Hukum Acara Pidana ?
2. Prosedural apa yang harus dilengkapi dalam pengajuan perkara pidana ?
3. Apa saja pokok materi yang ada dalam surat permohonan Hukum Acara Pidana ?
4. Bentuk atau proses beracara dalam perkara pidana.
5. Seperti apa contoh surat dakwaan perkara pidana ? disini kami mengambil contoh dari surat dakwaan perkara pidana perzinahan.

C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dan kegunaan dari makalah yang penulis buat ini yaitu :
1. Untuk mengetahui apa sebenarnya tujuan dari adanya Hukum Acara Pidana dan hal-hal yang ada dalam pelaksanaan Hukum Acara Pidana.
2. Guna menambah wawasan dan pengetahuan bagi para mahasiswa mengenai proses pembentukan suatu hukum pidana dengan mengetahui lebih dalam tentang Hukum Acara Pidana, serta beberapa permasalahannya.
3. Dapat bermanfaat dan memberikan informasi dalam tentang Hukum Acara Pidana dan permasalannya.

Silakan Download file docx nya disini atau

BAB II
PEMBAHASAN
Tujuan Hukum Acara Pidana
Oleh : Rodli Jauhari Fauzi / 09360009
Tujuan Hukum Acara Pidana antara lain dapat dibaca pada pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut.
Tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mmendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta peemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.
Kalimat diatas merupakan suatu kalimat yang terlalu panjang yang seharusnya dapat disederhanakan menjadi kalimat yang singkat. Yakni, tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat.
Di dalam kalimat yang ada pada pedoman pelaksanaan KUHAP diatas, Prof. Dr. Andi Hamzah tidak setuju pada bagian kalimat yang berbunyi “… setidak-tidaknya mendekati kebenaran”. Beliau berpendapat bahwa kebenaran itu harus didapatkan dalam menjalankan Hukum Acara Pidana. Umumnya para pakar hukum menyebutnya “mencari kebenaran materiil”, yang itu merupakan dari tujuan Hukum Acara Pidana. Akan tetapi usaha hakim dalam menemukan sebuah kebenaran materiil itu dibatasi oleh surat dakwaan jaksa. Hakim tidak dapat menuntut jaksa agar dia mendakwa dengan dakwaan lain atau malah menambah perbuatan yang didakwakan.
Dalam batas surat dakwaan itu, hakim harus benar-benar tidak puas dengan kebenaran yang hanya bersifat formal saja. Untuk memperkuat keyakinannya, hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua belah pihak, yakni terdakwa dan penuntut umum, begitu pula saksi-saksi yang diajukan oleh kedua belah pihak. Jadi dengan adanya tindakan dari hakim yang seperti itu, tujuan dari Hukum Acara Pidana dapat diperoleh yang sebenar-benarnya. Karena sifat hakim disini bersifat aktif, namun istilah aktif hendaknya tidak diartikan “sepenuhnya bertindak”.
Hakim dalam mencari kebenaran materiil, ia tidak mesti melemparkan sesuatu pembuktian kepada hakim perdata. Putusan hakim perdata tidak mengikat hakim pidana. Meskipun KUHAP tidak mengatakan hal ini, namun dapat diketahui dari doktrin dan dalam Memorie Van Toelichting Ned Sv telah dijelaskan hal itu.
Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi Hukum Acara Pidana yaitu :
1. Mencari dan menemukan kebenaran
2. Pemberian keputusan oleh hakim
3. Pelaksanaan keputusan.
Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah fungsi yang pertama, karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, yaitu mencari kebenaran. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai pada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.
Menurut undang-ungdang tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14 tahun 1970) pelaksanaan keputusan hakim tersebut harus berdasarkan peri-kemanusiaan.
Akan tetapi menurut Prof. Dr. Andi Hamzah, tujuan dari Hukum Acara Pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai suatu ketertiban, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.

PROSEDURAL DALAM PENGAJUAN PERKARA PIDANA
Oleh : Fitri Yuniatin / 09360010
A. Tingkatan-Tingkatan Dalam Prosedural Perkara Pidana
Didalam prosedur perkara pidana terdapat beberapa tingkatan yang membedakan macam-macam hokum berdasarkan kategori perkara tersebut. Tingkatan tersebut ialah Perkara pidana biasa, perkara pidana singkat, dan perkara pidana cepat.
1. Perkara Pidana Biasa
Perkara pidana biasa yaitu suatu praktek pengadilan negeri yang menunjukkan bahwasannya si penerima berkas-berkas perkara adalah dari pihak Jaksa, yang pada umumnya dikirim langsung ke: Panitera, kemudian dicatat dalam suatu daftar (Register) perkara-perkara pidana. Seterusnya diserahkan kepada Ketua Pengadilan, setelah itu berkas-berkas perkara tersebut baru dibagikan kepada Hakim Ketua majelis yang bersangkutan oleh Ketua.
2. Perkara Pidana Singkat
Dan perkara pidana singkat adalah perkara-perkara pidana yang menurut penuntut umum dalam hal pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Hal ini juga dijelaskan dalam pasal 203 ayat (1) KUHAP.
Pengajuan perkara pidana dengan acara singkat dapat dilakukan pada hari-hari persidangan tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan oleh penuntut umum ke persidangan.
Dalam perkara singkat ini, setelah sidang dibuka oleh ketua majelis hakim dan setelah pertanyaan formil terhadap terdakwa diajukan, maka penuntut umum dipersilahkan menguraikan tentang tindak pidana yang didakwakan secara lisan dan dicatat dalam berita acara sidang sebagai pengganti surat dakwaan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 203 ayat (3) KUHAP.
Penerimaan perkara-perkara pidana dengan acara singkat, oleh Pengadilan Negeri berlaku acara sebagaimana disebutkan dalam bab mengenai perkara-perkara pidana biasa yakni diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan melalui panitera tetapi dengan perbedaan bahwa berkas-berkas perkara pidana dengan acara singkat tidak perlu didaftarkan dulu pada waktu penerimaan. Putusan perkara singkat tidak dibuat secara khusus tetapi dicatat dalam berita acara sidang atau putusan menjadi satu dengan berita acara sidang.
3. Perkara Pidana Cepat
Yang diartikan dan termasuk perkara-perkara dengan acara cepat adalah perkara-perkara pidana yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penjara atau denda Rp. 7.500 sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 205 ayat (1) KUHAP. Perkara-perkara ini mencakup tindak pidana ringan, pelanggaran lalu lintas, juga kejahatan "penghinaan ringan". Perkara ini diadili oleh Hakim pengadilan negeri dengan tanpa ada kewajiban dari penuntut umum untuk menghadirinya kecuali bila sebelumnya penuntut umum menyatakan keinginannya untuk hadir pada sidang tersebut.
B. PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN DALAM PERKARA PIDANA
Dalam permohonan perkara pidana ada ketentuan-ketentuan yang harus dilalui oleh si pemohon. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi;
1. Permohonan diajukan dengan surat permohonan yang ditanda tangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal pemohon.
2. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri, yang akan menyuruh mencatat permohonanannya tersebut. (Pasal 120 HIR, Pasal 144 RBg).
3. Permohonan disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri, kemudian didaftarkan dalam buku register dan diberi nomor unit setelah pemohon membayar persekot biaya perkara yang besarnya sudah ditentukan oleh Pengadilan Negeri (Pasal 121 HIR, Pasal 145 RBg).
4. Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair dan terhadap perkara permohonan yang diajukan itu, Hakim akan memberikan suatu penetapan.
5. Untuk permohonan pengangkatan anak oleh seorang WNA terhadap anak WNI atau oleh seorang WNI terhadap anak WNA (Pengangkatan Anak Antar Negara / Inter Country Adoption) harus dijatuhkan dalam bentuk putusan. (SEMA No.2 Tahun 1979 jo SEMA No.6 Tahun 1983).
6. Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
7. Walaupun dalam redaksi undang-undang disebutkan bahwa pemeriksaan yang akan dilakukan oleh pengadilan atas permohonan dari pihak yang berkepentingan antara lain sebagaimana tersebut dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 110 dan 117 Undang¬-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas jo Pasal 138 dan 146 Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, namun hal tersebut tidak dapat diartikan sebagai perkara voluntair yang diperiksa secara ex parte, karena di dalamnya terdapat kepentingan orang lain sehingga perkara tersebut harus diselesaikan dengan cara contentiusa, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan harus ditarik sebagai Termohon, sehingga asas audiet alteram partem terpenuhi.
8. Produk dari permohonan tersebut adalah penetapan yang dapat diajukan kasasi.
9. Permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Pengadilan Negeri, yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal anak yang hendak diangkat (SEMA No. 2 Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983 jo SEMA No. 4 Tahun 1989).
10. Permohonan anak angkat yang diajukan oleh Pemohon yang beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat mewaris, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri, sedangkan apabila dimaksudkan untuk dipelihara, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama.
11. Untuk permohonan pengangkatan anak oleh seorang WNA terhadap anak WNI atau oleh seorang WNI terhadap anak WNA (Pengangkatan Anak Antar Negara Inter Country Adoption) hanya dapat dilakukan dalam daerah pengadilan negeri dimana yayasan yang ditunjuk departemen
12. Inter Country Adoption dilakukan sebagai upaya terakhir (Ultimatum Remedium), dan pelaksanaannya harus memperhatikan SEMA No. 6 Tahun 1983 jo SEMA No. 4 Tahun 1989 jo UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 41.
13. Perlu diperhatikan adanya instruksi menteri kehakiman republik indonesia No. M.02.PW.09.01-1981 tentang pemberian paspor dan exit permit kepada anak warga negara Indonesia yang diangkat anak oleh warga negara asing, tanggal 3 Agustus 1981, khususnya butir 1 yang berbunyi:
"Melarang memberikan paspor dan exit permit kepada anak-anak Warga Negara Indonesia yang diangkat anak oleh Warga Negara Asing apabila pengangkatan anak tersebut tidak dilakukan oleh Putusan Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal / tempat kediaman anak tersebut di Indonesia."
C. PROSEDURAL PENGAJUAN PERKARA PIDANA
Prosedur yang harus dilalui bagi orang-orang yang berperkara sebagai pelaku dalam hokum pada pengadilan negeri ialah;
1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Negeri dan menghadap petugas Meja Pertama dengan menyerahkan surat gugatan atau permohonan, minimal 2 (dua) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah rangkap sejumlah Tergugat.
2. Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan pihak berperkara dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa catatan pengecualian, yaitu;
a. Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidak mampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat.
b. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 237 – 245 HIR.
c. Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
3. Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).
4. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
5. Pemegang kas menandatangani Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), membubuhkan nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan dalam surat gugatan atau permohonan.
6. Pemegang kas menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) asli kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.
7. Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti nomor urut, dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.
8. Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.
9. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada pihak berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan.
10. Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat gugatan atau permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
11. Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.
12. Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.
13. Pihak/pihak-pihak berperkara akan dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH) dan hari sidang pemeriksaan perkaranya (PHS).


POKOK MATERI DALAM SURAT PERMOHONAN
(Subjek, Objek permohonan, Pokok dakwaan, Unsur dakwaan, Alat bukti, Putusan)
Oleh: Anwar Habibi Siregar / 09360011
A. Subjek dan Objek Permohonan
Telah dicantumkan dalam Integrated Criminal Justice System (sistem peradilan pidana terpadu) menempatkan warga negara yang diduga melakukan tindak pidana (tersangka atau terdakwa) bukan sebagai obyek tetapi subyek. Artinya warga negara mempunyai hak dan kewajiban apabila nantinya ada proses yang salah tangkap, salah tahan, salah tuntut dan salah putusan hukum. Dengan kata lain yang menjadi subjek permohonan adalah orang yang dalam hal ini menjadi tersangka atau terdakwa dalam sebuah kasus hukum pidana, adapun yang menjadi objek permohonan adalah kasus tindak (pelanggaran) hukum pidana tersebut.
B. Pokok dan Unsur Dakwaan
Perlu kita ketahui terlebih dahulu definisi dari dakwaan tersebut, dakwaan yang biasanya sering kali berhubungan dengan pembuatan surat dakwaan yang akan diajukan kepada hakim pengadilan tertentu.
Surat dakwaan adalah suatu akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun surat dakwaan yang menjadi pokok dakwaan adalah:
a. Sesuai dengan BAP
b. Menjadi dasar hakim
c. Bersifat sempurna dan mandiri

Unsur dan sekaligus menjadi syarat-syarat dakwaan adalah:
1. Syarat Formil
Identitas terdakwa yang meliputi diantaranya nama lengkap, tepat lahir, umur/ tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
2. Syarat Materiil
Dirumuskan secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa.
C. Alat Bukti
Mengingat pentingnya pembuktian dalam perbuatan pidana penghinaan, maka perlu diketahui mengenai alat bukti yang sah menurut hukum pidana. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam Pasal 184, bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.
1. Keterangan Saksi
Saksi: Orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penuntutan dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar, lihat dan alami sendiri.
Keterangan saksi : salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia lihat, dengar dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
2. Keterangan ahli
Pasal 186; Keterangan ahli ialah keterangan apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dikabarkan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
3. Surat
Dalam hal ini surat dibuat atas sumpah jabatan/ dikuatkan dengan sumpah:
a. Berita acara dan surat dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas tentang keterangannya itu.
b. Surat yang dibuat menurut UU atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal-hal yang termasuk dalam tata laksananya yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlianya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
4. Petunjuk
Pasal 188 ayat 1: Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindakan pidana dan siapa pelakunya
Ayat 2 : Petunjuk sebagaimana dimaksud dengan ayat 1 hanya dapat diperoleh dari 1. keterngan saksi, 2. surat, 3. keterangan terdakwa.
Petunjuk adalah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat tadi mempunyai kesesuaian antara yang satu dengan yang lain amupun isyarat tadi mempunyai kesesuaian dengan tindakan pidana itu sendiri, dari isyarat yang bersesuaian tersebutmelahirkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana, dan terdakwalah terdakwa.
5. Keterangan Terdakwa (UU No 8 tahun 81-KUHP)
a. Tidak perlu pake sumpah
b. Pada HIR, istilah yang digunakan adalah pengakuan terdakwa. Keterangan
terdakwa bermakna pengakuan dan pengingkaran terdakwa. Keterangan
terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidaanga tentang perbuatan
yang ia lakukan, ketahui dan alami sendiri.
c. Keterangan terdakwa menjadi alat bukti ketika dipaparkan ditengah persidangan.
d. Ada keterangan terdakwa yang dilakukan diluar persidangan, ex: rekonstruksi;
berguna untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu
didukung oleh suatu alat bukti yang sahsepanjang menyangkut hal yang
didakwakan kepadanya.
e. Keterangan terdakwa hanya dapat disunakan untuk dirinya sendiri
f. Keteranagn terdakwa harus didukung oleh alat bukti yang lain. Ingat, bahwa alat bukti dalam persidangan harus lebih dari satu.
D. Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini.
a. Jenis-Jenis Putusan
1. Putusan bebas, pasal 191 ayat 1 KUHAP
• Tidak terbukti adanya kesalahan
• Tidak adanya 2 alat bukti
• Tidak adanya keyakinan hakim
• Tidak terpenuhinya unsur tindak pidana
2. Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum pasal 191 ayat 2 KUHAP
• Terbukti tetapi bukan tindak pidana
• Adanya alasan pemaaf, pembenar atau keadaan darurat
3. Putusan Pemidanaan
• Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana.
• Memberitahukan kepada terdakwa bahwa memiliki hak untuk menerima, pikir-pikir atau banding.


Proses Beraca dalam Acara Pidana
Oleh : A. Firdaus Al Halwani / 09360013
Proses beracara dalam acara pidana adalah sebuah pedoman untuk mengumpulkan data, mengolahnya, menganalisa serta mengkonstruksikannya. Langkah-langkah untuk menyusunnya adalah sebagai berikut :
1. Perumusan masalah,
2. Penyusunan kerangka teoritis dan konsepsionil,
3. Perumusan hipotesa,
4. Tipe perencanaan penelitian atau rencana pemeriksaan,
5. Tatacara menentukan ruang lingkup bahan pustaka dan/atau responden,
6. Metode pengumpulan data, meliputi alat-alatnya, jangka waktu dan cara-cara yang ditempuh.
7. Pedoman kerja.
Di dalam penelitian hukum pada umumnya, perencanaan penilaian sangat diperlukan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. Dalam masing-masing tahap diatas, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Soerjono Soekanto : 1976) :
1. Pada perumusan masalah perlu diperhatikan kesederhanaan dan kejelasan didalam merumuskannya. Selain dari itu, juga perlu ditegaskan tentang alas an-alasan mengapa masalah-masalah tersebut perlu diteliti.
2. Dalam menyusun kerangka teoritis dan konsepsionil, amaka sebagi dasar dapat dipergunakan sebagai teori-teori, hasil-hasil penelitian pada masa lampau maupun peraturan perundang-undangan mengenai masalah yang diteliti. Tidak jarang, dapat ditemukan perumusan-perumusan tertentun dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat dijadikan definisi operasional.
3. Hipotesa perlu dirumuskan dalam penelitian-penelitian tertentu, dan tidak diperlukan secara mutlak pada penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka hipotesa diperlukan apabila penelitian tersebut bersifat eksplanatoris. Hipotesa tersebut pada hakekatnya merupakan jawaban sementara terhadap suatu masalah, yang masih memerlukan suatu kajian tertentu.
4. Tipe perencanaan penelitian atau rencana pemeriksaan.
5. Mengenai tata cara menentukan ruang lingkup bahwa pustaka, hendaknya diawali dengan menelusuri bahwa pustaka yang bersifat umum yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, untuk kemudian disusul dengan masalah yang diteliti, dan kemudian menyusun daftar bahan pustaka yang fungsional bagi penelitian.
6. didalam menyusun jangka waktu untuk penelitian, perlu diperhatikan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan, seperti misalnya :
a. penyusunan perencanaan penelitian.
b. Penyusunan daftar pertanyaan atau pedoman wawancara (khususnya pada penelitian hukum sosiologi atau empiris).
c. Pengurusan izin penelitian.
d. Penyusunan daftar responden (khususnya pada penelitian hukum sosiologis atau empiris
e. Pemilihan petugas-petugas lapangan.
f. Latihan bagi petugas lapangan dan pre-test.
g. Pemeriksaan terhadap hasil-hasil pre-test.
h. Jangka waktu pengumpulan data.
i. Pengolahan, analisa dan konstruksi data.
j. Penyusunan laporan hasil-hasil penelitian.
k. Penggandaan atau perbanyakan laporan hasil-hasil penelitian.
7. Pdoman kerja biasanya mencakup lingkup tugas dari personalia penelitian.
Selain daripada itu, maka didalam penyusunan perencanaan penelitian hukum, uga perlu dijelaskan mengenai metode analisa yang akan diterapkan, misalnya, metode kualitatif dan metode kuantitatif. Selain itu, maka perlu pula dijelaskan secara global, mengenai cara untuk mengkonstruksikan data penelitian, kerangka penyusunan laporan akhir, dan juiga apakah hasil penelitian perlu di publikasikan atau tidak (serta untuk pihak-pihak manakah hasil-hasil penelitian dapat dimanfaatkan).
Perencanaan penelitian atau reseach-design ini, seringkali dikesampingkan dengan usul penelitian atau research-proposal. Keduanya menyanghkut hal-hal yang berbeda, akan tetapi, penyusunan usulk penelitian yang serba lengkap akan sanagat menolong apabila sudah tiba pada waktunya untuk kemudian menyusun perencanaan penalitian. Walaupun merupakan suatu pedoman untuk mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan mengkonstruksikan data, perancanaan penalitian pada hakikatnya bersifat luwes.
Proses beracara dalam hukum pidana mencakup tiga hal, yaitu sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal &( KUHAP), pemeriksaaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP) ditentukan beberapa hal, sebagai berikut :
1. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari siding.
2. dalam memeriksa dan memutuskan sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintan ganti kerugian dan rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka ataupun pemohon ataupun dari pejabat yang berwenang.
3. pemeriksaan tersebut dilaksanakan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah menjatuhkan putusan.
4. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangak pemeriksaan mengenai permintaan kepada pengadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
5. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang tersebut dari butir satu sampai lima ini diatur pada pasal 82 ayat (1) KUHAP).
6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP).
7. Selai yang tersebut pada butir enema, putusan hakim juga memuat :
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahannan tidak sah maka penyidikan atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masingharus segera membebaskan tersangka.
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu hal penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan ataupenahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dalam rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putuskan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.


Contoh Surat Dakwaan Pidana Perzinaan
Oleh: Choirul Salim / 09360014

A. Surat dakwaan Pidana
kriteria yang harus dilengkapi dalam pembuatan surat dakwaan pidana atau dalam pidana perzinaan yaitu :
1. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,tempat tinggal,agama,dan pekerjaan tersangka.
2. dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.Uraian secara cermat,jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang di dakwakan
selain daripada syarat-syarat tersebut, menurut peraturan lama dan kebiasaan, perlu pula disebut hal- hal dan keadaan-keadaan dalam mana delik dilakukan khususnya mengenai hal yang meringankan dan memberatkan. Kalau hal-hal dan keadaan tidak disebut dalam dakwaan tidak menjadikan batalnya dakwaan, berlainan jika waktu dan tempat terjadinya delik yang didakwakan tidak disebut yang menjadi dakwaan batal (pasal 143 ayat (3) ).
Hal-hal yang diuraikan dalam surat dakwaan secara cermat dan jelas, hal itu tidak ditentukan oleh KUHP. Tentulah masalah ini masih tetap sama dengan kebiasaan yang berlaku sampai kini yang telah diterima oleh yurisprudensi dan doktrin. Cara- cara tradisional untuk membuat surat dakwaan sesuai pasal 250 HIR dahulu pada kenyataannya tidak perlu dipenuhi. Keterangan singkat tentang perbuatan yang didakwakan kadang-kadang lebih jelas dan pada hakikatnya lebih membantu untuk menjamin kepentingan pembelaan.

B. Contoh surat dakwaan perzinaan :

KEJAKSAAN NEGERI BANDAR LAMPUNG
Jalan Wolter Monginsidi No. 24_________________
“KASUS PIDANA PERZINAAN”
SURAT DAKWAAN
No. Reg. Perk :PDM-335 / RPK /BDL/ 2010
a. Terdakwa I :
Nama : Firmansyah bin Rakudin alias O’on
Tempat Lahir : Bandar Lampung, 9 Agustus 1997
Umur : 11 tahun
Jenis Kelamin : Laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Jl. Kopi gang Kelinci 5 No. 11 Kec. Raja Basa
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar

Terdakwa II
Nama : Fitriani
Tempat Lahir : Bandar Lampung, 2 Juli 1998
Umur :12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Jl. Metro-Wates 7 No. 09 Kec.Trimurjo
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
b. Penahanan :
Kedua terdakwa dinyatakan ditahan
c. Dakwaan :
• Bahwa kedua terdakwa Firmansyah bin Rakudin alias O;on dan Fitriani, pada hari Senin tanggal 13 Oktober 2010 sekitar pukul 14.00 atau setidak- tidaknya pada waktu lain tetapi masih dalam bulan Oktober di jalan Kopi gang Kelinci RT. 01/ RW 02, Desa/ Kelurhan Gedong Meneng, Kecamatn Raja Basa, Kabupaten/ Kota Bandar Lampung atau setidak- tidaknya pada tempat lain tetapi masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang, telah dengan sengaja melakukan perzinaan, karena didorong rasa suka sama suka karena hal ini disebabkan hubungan keduanya tanpa direstui orang tua di kedua pihak. Selain itu, dalam melakukan perbuatannya, kedua terdakwa juga melakukan hubungan diluar nikah dengan penjelasan waktu dan tempat sebagai berikut :
• Pada Jum’at 10 Oktober 2010, kedua terdakwa melakukan hubungan ini di tempat kosnya Fitriani, Jl. Lembayung No. 05 RT 10 RW 06 Kec. Trimurjo.
• Pada hari Minggu 12 Oktober 2010, kedua terdakwa kembali melakukan hubungan layaknya suami istri yang dilakukan di rumahnya Firman, Jl. Kopi gang Kelinci 5 No. 11 Kec. Raja Basa.
Perbuatan terdakwa tersebut diatas diatur dan diancam dalam 284 KUHP tentang Perzinaan.
Bandar Lampung,15 Oktober 2010
Jaksa/ Penuntut Umum


Laura Diah Yulianti
Penata/ NIP 132621311

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana.
Tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat.


Daftar Pustaka
Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Hadisoeprapto, Pengantar tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2008.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Pidana,( Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP: penyelidikan dan penuntutan),Sinar Grafika, Jakarta, 2007,

0 komentar:

Post a Comment

EDUCATION © 2012. Design Theme by : Yanku Templates